Category: sorot


(Mading ‘Dwi-Mingguan’ edisi ke-XVI, 15/11/2011)

Dalam rangka melaksanakan Masa Integrasi Pendidikan Kampus (MAGRADIKA), Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta mengadakan bakti sosial untuk siswa-siswa SMP Al-Qalam Jakarta melalui Yayasan Marhamah yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial.

Kegiatan ini diisi dengan beberapa rangkaian acara. Mulai dari sambutan pihak panitia yang diwakili oleh Julias Penata Utama dan dilanjutkan dengan sambutan dari pihak Yayasan Marhamah Jakarta yang diwakili oleh Suriadi Rasyid, S.Sos. Kemudian masih ada acara semarak lainnya, seperti acara game yang berhasil menyita perhatian seluruh siswa SMP Al-Qalam Jakarta.

“Saya suka dengan game film yang ketiga. Film itu memotivasi banget, bagi kita yang udah putus asa karena nggak bisa mendapat sesuatu yang kita inginkan,” ujar Lukman, siswa kelas VIII penuh antusias.

Kegiatan rutin setiap angkatan ini diadakan pada hari Sabtu 12 November 2011 yang lalu, bertempat di aula masjid Baitul Karim, Polonia. Dengan diwakili oleh Julias Penata Utama, STIS Jakarta menyampaikan tujuan dan harapannya terhadap kegiatan perdana yang diadakan di SMP Al-Qalam Jakarta ini.

“Kami sadar bahwa kami dari daerah. Dan dengan mengadakan bakti sosial ini kami berharap segala apa yang kami berikan bisa bermanfaat. Ini juga sebagai rasa syukur kami karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti kami yaitu bisa belajar di perguruan tinggi di Jakarta,” kata Julias di sela-sela wawancara.

Kegiatan sosial ini berlangsung tertib dengan ditutup doa yang dipimpin oleh pihak panitia. STIS Jakarta juga menyerahkan beberapa paket alat tulis dan bantuan berupa logistik. Kurang lebih sebanyak 20 mahasiswa yang berpartisipasi untuk mewakili seluruh mahasiswa STIS Jakarta. [GFR/Mading ‘Dwi-Mingguan’]

(Mading ‘Dwi-Mingguan’ edisi ke-XIV, 1/10/2011)

Entah karena kenyataan atau memang hanya terkesan dengan prestasi yang tiba-tiba muncul melalui bidang olah raga, ketua redaksi mading ‘Dwi-Mingguan’ Ghofar El Ghifary melontarkan pujian tinggi untuk Mustofa. Ia begitu antusias menanggapi pemain sekaligus kapten tim futsal SMP Al-Qalam yang sudah dua tahun lebih membela The Al-Q 72, sebutan tim futsal SMP Al-Qalam Jakarta itu.

“Mustofa tak ubahnya Firman Utina. Dia adalah pemain yang cukup tangguh. Kalau kita lihat dari gaya dan postur tubuhnya, dia nyaris seperti Firman Utina. Apalagi jika kita lihat dari tempat kelahirannya, mereka sama-sama kelahiran Manado,” puji Ghofar di jejaring fesbuk sekolah.

“Kalau Anda bermain melawan dia, Anda benar-benar akan merasa kesulitan. Saya bukan omdo atau omong doang, tapi memang itulah kenyataan karena saya pernah menjajalnya sendiri,” lanjut Ghofar memaparkan. [GFR]

(Mading ‘Dwi-Mingguan’ edisi ke-XIV, 1/10/2011)

Tim futsal SMP Al-Qalam berhasil menumbangkan tuan rumah SMP Santo Vincentius dengan skor 4-2 pada babak semifinal kompetisi ‘Vincentius Day’.

Kemenangan yang diraih The Al-Q 72, sebutan tim futsal SMP Al-Qalam, menempatkan sekolah islam satu-satunya yang ikut dalam kompetisi ini lolos ke final.

Tim besutan Samsudi ini dengan penuh percaya diri melenggang ke final. Adalah sang kapten, Mustofa, menjadi penajam permainan yang selalu aktif di lini belakang dan depan. Dengan harapan untuk menang dan juara yang akan menentukan nasib futsal di SMP Al-Qalam Jakarta ke depannya.

Tak ada penyemangat bagi Mustofa dkk kecuali kata-kata sang pelatih yang tidak ingin melihat anak asuhannya kalah dalam pertandingan. Syem, sapaan akrab Samsudi, selalu mengingatkan kepada pasukannya untuk bersemangat dan harus menang. Ia tak ingin mengecewakan Pak Mahidin dan Pak Mahmud  selaku petinggi sekolah dengan kekalahan demi kekalahan.

Namun, performa terbaik The Al-Q 72 tak berlangsung lama. Mereka tunduk di final saat menjamu SMP Pamardi Yuwana Bhakti dengan kekalahan telak 5-1. Alhasil, tim kesayangan ROSELA (Rombongan Sekolah Al-Qalam), sebutan murid-murid SMP Al-Qalam Jakarta, itu harus puas sampai di runner-up. Walau begitu, ini adalah prestasi yang cukup membanggakan bagi SMP Al-Qalam Jakarta di bidang olahraga. [GFR/Mading ‘Dwi-Mingguan’]

 

(Mading ‘Dwi-Mingguan’ edisi ke-XII, 15/8/2011)

Mading ‘Dwi-Mingguan’ – Hj. Orny Loebis telah berpulang ke rahmatullah. Ibu Haji, sapaan akrab Hj. Orny Loebis di mata santri-santri Yayasan Marhamah, menghembuskan napas terakhir hari ini, Sabtu, 13 Agustus 2011, di kediamannya, Jl. Cipinang Cempedak I/7 Polonia, Jakarta Timur.

“Ibu Haji meninggal di rumahnya tadi jam tujuh lewat lima menit.” kata Ba’asyir saat menginformasikan perihal meninggalnya salah satu donatur Yayasan Marhamah yang sudah memasuki usia ke-84 tahun itu.

Mendengar berita dari Ba’asyir, Ghofar, selaku redaktur mading ‘Dwi-Mingguan’ langsung meluncur ke kediaman Hj. Orny Loebis bersama rekan kerjanya, Ibrahim.

“Innalillahi wa’inna’ilaihi rooji’uun… Telah berpulang ke rahmatullah ibunda kita Hj. Orny Loebis. Al Fatihah.” tulis Ghofar melalui jejaring facebooknya sebelum meninggalkan meja kerjanya.

Sebelumnya Hj. Orny Loebis sempat dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. Lantas beliau dipulangkan dari rumah sakit tersebut atas permintaannya sendiri.

“Sebenarnya Bu Haji belum sembuh, tapi karena beliau minta pulang, anak-anaknya akhirnya mengizinkan. Orang ini sudah kemauan ibu. Sebagai anak pasti ingin selalu membuat orang tuanya senang.” Ujar Imam Ma’arif selaku Sekretaris Yayasan Marhamah.

“Dan sehari sebelum meninggal beliau juga sempat berwasiat kepada anak-anaknya agar ruang tamu dibersihkan dan dirapikan, dan beliau juga meminta jika nanti meninggal supaya dishalatkan di mushala. Masuk mushala lewat tangga yang biasa beliau lewati dan keluar mushala lewat tangga yang biasa dilewati santri-santri.” lanjut Imam dengan mimik serius.

Akhirnya, jenazah Hj. Orny Loebis dishalatkan di mushala yang ada di kediamannya, lalu dishalatkan untuk kedua kalinya di masjid Baitul Karim. Kemudian jenazah beliau dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Dengan diiringi empat bus pelayat dan dipandu polisi.

Sesampai di lokasi pemakaman, dilakukan penguburan jenazah, sambutan dari Adnan Buyung Nasution dan ditutup dengan doa jenazah yang dipimpin oleh ustadz Mahmud Efendi yang juga anak angkat dari Hj. Orny Loebis. [GFR]

 

MELANGGAR POTONG TABUNGAN

Belum lama ini ada sesuatu yang unik yang terjadi di Smp Al-Qalam. Yaitu, setiap siswa Smp Al-Qalam (santri asrama Marhamah, Red.) melanggar peraturan di antaranya; keluar asrama tanpa izin, bermain playstation, internet, berkelahi, terlambat kembali ke asrama usai liburan dsb. akan dipotong tabungannya. Hal itu sesuai dengan yang diungkapkan oleh bendahara Smp Al-Qalam, ustadz Mahmud“Siapa yang melanggar peraturan, baik di asrama maupun di sekolah, akan dipotong tabungannya.”

Sepertinya peraturan ini dijadikan sebagai batu loncatan dari peraturan sebelumnya. Yakni, pihak pelanggar mendapatkan hukuman push up, dibotak, dipukul dengan rotan, atau ditidurkan di halaman. Jadi, logikanya, siswa-siswa Smp Al-Qalam lebih sayang dengan uang tabungannya dibandingkan dengan dirinya yang dihukum fisik. Dan sudah jelas bahwa semakin banyak peraturan yang dilanggar, semakin banyak pula uang tabungan yang dipotong.

Menurut ustadz Mahidin, selaku Kepala Sekolah Smp Al-Qalam, siswa yang melanggar sudah tidak mempan jika hanya dihukum fisik. Dengan hukuman potong tabungan siswa lebih merasa khawatir untuk tidak jajan dan kemudian mentaati peraturan. Selain itu, hukuman fisik juga kurang mendidik. “Anak zaman sekarang susah dikasarin, kalau dikasarin ya semakin melawan. Berbeda dengan zaman saya dulu (masa pimpinan ustadz Abdul Manan, Red.) Mendengar suara Pak Manan saja sudah kalang-kabut,”  lanjutnya menutup pembicaraan.

Senada dengan ucapan ustadz Mahmud dan ustadz Mahidin, ustadz Suriadi selaku pimpinan asrama hanya mengamini. Beliau seolah-olah menurut dan menyetujui peraturan yang baru mulai berjalan. “Yang penting bagaimana caranya meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di smp maupun asrama. Agar santri yang melanggar juga jera,”  ujarnya menyetujui lantas tersenyum.

(GFR, Staff TU)

Belajar di Rumah Allah

Segala sesuatu adalah Allah yang menentukan. Hujan turun, panas matahari yang menyengat, banjir, kebakaran. Semua itu adalah Allah yang menentukan. Adakalanya mati lampu, seperti yang dialami oleh siswa-siswa Smp Al-Qalam pada hari kamis, 24 Maret yang lalu. Ketika itu, mati lampu terjadi lantaran ada beberapa saluran listrik sekitar yang sering konsleting dan harus diperbaiki. Dan saat itu seluruh siswa-siswa Smp Al-Qalam memasuki waktu belajar jam kedua. Dengan suasana yang cukup genting itu, akhirnya siswa-siswa Smp Al-Qalam pun belajar di rumah Allah yakni di Masjid Baitul Karim yang terletak tak jauh dari sekolah.

Awalnya. Pak Ruslan, selaku guru Ilmu Pengetahuan Alam kelas tujuh saat itu kelimpungan dan sempat mangkir di kantor sekolah lantaran belum tahu di mana tempat yang nyaman untuk belajar. Ia pun sempat bertanya kepada wakil kepala sekolah, Ustadz Mahmud.

“Ustadz, anak-anak belajar di mana, nih?” tanyanya polos.

“Di masjid, Pak Ocan,” kilah Ustadz Mahmud menyebut nama sapaan akrab Pak Ruslan.

“Di masjid? Oke, deh!” jawab Pak Ruslan lantas berlalu.

Selain Pak Ruslan, ada juga guru lain yang tak kalah kelimpungan yakni Pak Saiful. Guru yang saat itu mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris kelas delapan itu cukup bingung.

“Mau belajar di mana? kelas mati lampu,” gumamnya pelan. Tanpa ia sadari perkataannya itu didengar oleh salah seorang siswanya yang sedang mengambil buku absen di kantor.

“Kita belajar di masjid saja, Pak! Kelas tujuh sudah belajar di masjid,” sahut siswa yang bernama Luthfi itu.

“It’s ok, ajak teman-temanmu ke masjid, kita belajar di masjid,” kata lelaki yang biasa disapa Pak Ipul itu menanggapi usul seorang siswanya tadi.

Berhubung kelas sembilan ada ujian praktek mata pelajaran Penjasorkes, maka mereka tidak ikut andil belajar di masjid. Mereka berbondong-bondong ke lapangan taman Simanjuntak dengan didampingi Kak Samsudi sebagai guru Penjasorkes. Kak Samsudi adalah guru baru yang masih berstatus mahasiswa dan sedang menyelesaikan S1-nya di Universitas Indrpaprsata PGRI Jakarta. Sejurus dengan itu, ia pun tak mau disapa dengan kata-kata ‘pak’ oleh para siswanya. Ia lebih suka disapa ‘kak’. Menurutnya, dengan kata kak laiknya kakak kandung, bisa menjadikan hubungannya lebih dekat dengan para siswanya.

Kini, di masjid hanyalah siswa kelas tujuh dan delapan. Mereka belajar dengan tertib. Dengan guru dan mata pelajaran masing-masing. Mereka tak berpengaruh walau belajar tanpa menggunakan meja (lesehan). Pun tanpa lampu yang menyala, karena dengan ventilasi jendela dan pintu-pintu masjid membiarkan cahaya matahari memasuki masjid dengan leluasa. Sehingga penerangan sinar ultra-violet saat itu laksana lampu yang menyala.

By: Staff TU Smp Al-Qalam